Pada 29 Desember 2011, terjadi peristiwa menggemparkan di Kabupaten
Sampang, Madura, Jawa Timur. Sebuah mushala dan beberapa rumah warga
Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, diserbu
dan dibakar massa. Rumah dan mushalla itu adalah milik kelompok Syiah
yang dipimpin oleh Tajul Muluk Ma’mun.
Kasus Sampang Madura itu mulai membuka mata banyak orang, bahwa ada
masalah serius dalam soal hubungan antara orang-orang Muslim Sunni dan
kelompok Syiah di Indonesia. Sebelumnya, berbagai kasus serupa – dalam
skala kecil – sudah terjadi di berbagai tempat. Benih-benih konflik itu
seperti sudah menyebar. Kasus Syiah Sampang itu, tentu saja, patut
disesalkan, sebab konflik semacam ini harusnya bisa diredam jauh-jauh
sebelumnya. Banyak pihak yang kemudian menuding bahwa kasus itu adalah
cerminan buruknya iklim kebebasan beragama di Indonesia.
Tetapi, analisis semacam itu terlalu parsial dan liberal. Semua
masalah hubungan antar atau internal agama hanya dilihat dari satu aspek
saja, yaitu aspek HAM dan “kebebasan beragama”. Padahal, yang
kadangkala diabaikan dalam analisis soal keagamaan adalah soal
“sensitivitas” yang sudah menyentuh aspek keyakinan. Seperti dalam kasus
hubungan Muslim Sunni dan kelompok Syiah.
Kasus Syiah Sampang, Madura, misalnya, sudah berlarut-larut selama
bertahun-tahun. Pada 20 Februari 2006, lebih dari 50 orang ulama Madura
mengeluarkan pernyataan, bahwa aliran Syiah yang disebarkan oleh Tajul
Muluk Ma’mun di Madura tergolong Syi’ah Ghulah (Rofidloh). Salah satu
ajaran yang membuat hati kaum Muslim Sunni di Madura tersakiti adalah
ajaran yang melecehkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akar masalah
Pernyataan para ulama Madura itu membuktikan bahwa kasus Syiah di
Sampang, adalah laksana bara dalam sekam. Kasus ini tidak segera
diselesaikan, sehingga “bara” itu akhirnya meledak, dan mengagetkan
banyak orang. Muncullah opini seolah-olah kelompok Syiah di Indonesia
tidak mendapatkan hak kebebasan beragama dari kaum Muslim Indonesia;
bahwa mereka terzalimi.
Masalah Sampang ini tentu memerlukan kajian dan penelitian yang
serius. Yang jelas di Indonesia, kelompok Syiah terbukti sangat agresif
dalam menyerang ajaran-ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas Muslim di
Indonesia. Ini sulit dipisahkan dari sejarah kelahiran kelompok Syiah
itu sendiri, yang menganggap hak kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu dirampas oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma. Tidak heran, jika ketiga sahabat utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sering menjadi bulan-bulanan caci maki kaum Syi’ah.
Begitu pula ummul mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
sangat dicintai kaum Muslimin tak lepas dari berbagai fitnah dan
cemoohan kaum Syiah. Padahal, Aisyah adalah istri Nabi yang mulia. Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah pula. Aisyah radhiyallahu ‘anha
adalah ulama wanita yang meriwayatkan 2210 hadits. Dari jumlah itu, 286
hadits tercantum dalam shahih Bukhari dan Muslim. Ada sekitar 150 ulama
Tabi’in yang menimba ilmu dari Aisyah. (Lihat, K.H. Ubaidillah Saiful
Akhyar Lc, Aisyah, The Inspiring Woman, (Yogyakarta: Madania, 2010).
Jadi, keutamaan Aisyah radhiyallahu ‘anha sudah begitu masyhur dan disampaikan sendiri oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sangat wajar, jika kaum Muslim akan terluka hatinya jika wanita yang sangat mulia dan agung ini dicaci-maki.
Masalahnya, di Indonesia, berbagai penerbitan kaum Syiah terbukti sulit
menyembunyikan caci-maki terhadap para sahabat dan istri Nabi yang mulia
tersebut. Padahal, dalam buku-buku tersebut, kadangkala disebutkan,
bahwa penulis buku Syiah itu mengaku ingin membangun persaudaraan dengan
kaum Muslim Sunni. Sebut satu contoh, buku berjudul The Shia,
Mazhab Syiah, Asal-usul dan Perkembangannya karya Hashim al-Musawi
(Jakarta: Lentera, 2008). Secara halus, buku ini juga mendiskreditkan
Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Misalnya, dalam hal pencatatan
sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sumber-sumber historis mengindikasikan beragam pendapat berbeda
mengenai penulisan kata-kata Nabi. Para Imam Ahlulbait Nabi yakin
perlunya menulis atau mencatat kata-kata Nabi dan menjaganya dari hilang
atau didistorsi. Imam Ali beserta putranya, al-Hasan, memerintahkan
pencatatan sabda Nabi dan pendokumentasian sumber-sumbernya. Menurut
ad-Dailami, Imam Ali berkata: “Bila kamu mencatat sebuah sabda, sebutkan
juga sumbernya.” (Catatan kaki: Hasan ash-Shadr, asy-Syiah wa Finun
al-Islam). Imam Ali sendiri mencatat sabda-sabda Nabi dalam sebuah surat
gulungan, dan surat gulungan ini diwarisi oleh para imam keturunan Imam
Ali. Sementara itu, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar melarang
pencatatan sabda Nabi, dan para penguasa Umayah juga memberlakukan
larangan ini sampai Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dan mengirim
pesan berikut ini kepada warga Madinah… (Catatan kaki: Ahmad bin Ali Ibn
Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari be Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar
al-Ihya at-Turats al-Arabi, ed. Ke-4, 1408 (1988)).
Salah paham
Cara kelompok Syiah dalam mengkritik Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam
soal pembakaran hadits Nabi itu tentu saja tidak fair dan tidak sesuai
dengan fakta. Masalah pencatatan hadits di kalangan sahabat Nabi juga
sudah dibahas dengan sangat mendalam oleh Dr. M. Musthafa al-A’zhami
dalam bukunya, “Studies in Early Hadits Literature” (Kuala
Lumpur: Islamic Book Trust, 2000). Dalam buku yang merupakan disertasi
doktornya di Cambridge University ini, al-A’zhami menunjukkan data
adanya 50 sahabat Nabi yang melakukan pencatatan hadits. Termasuk Abu
Bakar dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma. Berita tentang
Abu Bakar yang membakar kumpulan haditsnya diragukan keabsahannya oleh
adh-Dhahabi. Bukti lain yang meragukan riwayat pembakaran hadits
tersebut adalah bahwasanya, Abu Bakar sendiri mengirim surat kepada ‘Amr
bin al-Ash, yang memuat sejumlah ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Surat senada yang mengandung hadits Nabi juga dikirim Abu Bakar kepada Gubernur Anas bin Malik di Bahrain.
Riwayat tentang kasus pembakaran hadits oleh Umar bin Khathab juga
diragukan kebenarannya. Al-A’zhami menelusuri tiga jalur riwayat berita
tersebut, dan dia menemukan, semuanya mursal. Artinya, rangkaian cerita
itu terputus, tidak sampai pada Umar bin Khathab. Juga, faktanya, Umar
bin Khathab mengirimkan Ibn Mas’ud dan Abu Darda’ sebagai guru ke Kufah,
padahal keduanya dilaporkan memiliki catatan hadits sebanyak 848 dan
280 buah. Umar sendiri juga terbiasa mengutip hadits-hadits Nabi dalam
surat-surat resminya sebagai kepala negara. (hal. 34-60).
Jadi, tuduhan kelompok Syiah akan kejahatan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma
yang –katanya– menghalang-halangi pencatatan hadits Nabi perlu
dijernihkan. Tuduhan semacam itu sangatlah tidak bersahabat dan
membangun perdamaian.
Tahun 2009, sebuah kelompok penyebar Syiah di Indonesia menerbitkan
sebuah buku berjudul “40 Masalah Syiah”. Buku ini ditulis dengan tujuan
untuk: “tumbuhnya saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam
Islam.” Itu tujuan yang tertulis dalam sampul belakangnya. Tetapi, jika
disimak isi bukunya, buku ini justru mengejek dan melecehkan kaum
Muslim Indonesia yang Sunni.
Betapa tidak! Lagi-lagi, buku semacam ini juga tak bisa lepas dari
caci maki terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman bin Affan. Padahal kaum
Muslim sangat menghormati Ali radhiyallahu ‘anhu dan Ahlulbait. Fakta sejarahnya, Ali bin Abi Thalib pun tidak mencerca Abu Bakar, Umar, Utsman, juga Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dalam bab berjudul “Syiah Melaknat Sahabat” disebutkan, bahwa Syiah
tidak melaknat siapa pun kecuali yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya.
Salah satu cara menggambarkan buruknya perilaku Utsman bin Affan adalah
penghormatannya kepada al- Hakam bin abi al-ash. Padahal, orang ini
sudah dilaknat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Ketika Utsman menjadi khalifah, ia menyambutnya dengan segala kemuliaan
dan kehormatan. Utsman memberinya hadiah 1000 dirham dan mengangkat
anaknya sebagai orang kepercayaannya.” (hal. 89).
Sebagaimana dalam kasus pencatatan hadits, tuduhan-tuduhan kelompok
Syiah terhadap Utsman bin Affan juga sangat berlebihan. Kadangkala fakta
ditafsirkan lain, sehingga seolah-olah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhuma
telah melakukan persekongkolan jahat melawan Nabi. Ibnul Arabi, dalam
Kitabnya, al-Awashim wal-Qawashim, menjelaskan, kasus al-Hakam terkait
dengan kesaksian Utsman radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah memberikan izin kepada al-Hakam untuk kembali ke Madinah. Tetapi,
Abu Bakar dan Umar tidak menerima saksi lain selain dari Utsman bin
Affan, sehingga permintaan Utsman ditolak. Tetapi tidak diberitakan,
saat menjadi Khalifah, Utsman menyambutnya dengan segala kemuliaan.
Mengutip Ibn Taymiyah dalam Minhaj al-Sunnah, Dr. Muhammad al-Ghabban
menjelaskan melalui bukunya, Kitab Fitnah Maqtal Utsman, bahwa semua
riwayat tentang pengusiran Hakam adalah mursal, jadi sanadnya lemah.
Jalan Damai
Mungkin, karena kebencian terhadap Abu Bhakar, Umar, dan Utsman, maka
kelompok Syiah – termasuk di Indonesia – tidak dapat menyembunyikan
pikirannya untuk mencerca para sahabat Nabi yang mulia tersebut. Itulah
fakta ajaran Syiah yang disebarkan di Indonesia melalui berbagai
penerbitan mereka. Jika manusia-manusia yang begitu mulia dan dihormati
oleh kaum Muslim – seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab,
Utsman bin Affan, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma — dicerca dan diperhinakan oleh kaum Syiah, apakah umat Islam bisa terima?
Itu tentu berbeda dengan Muslim Sunni yang menghormati semua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum Muslim sangat mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan para sahabatnya yang mulia. Tidak sepatutnya, ada orang yang
menyimpan dendam abadi kepada manusia-manusia terbaik yang dididik oleh
Rasulullah sendiri. Bahkan, Abu Bakar, Umar bin Khathab adalah mertua
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Utsman bin Affan adalah menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kaum Muslim yang masih memiliki kesadaran keimanan, tentu tidak ridha
jika para sahabat Nabi yang mulia itu difitnah dan dicaci-maki.
Jika kaum Syiah mengakui Sunni sebagai manhaj dalam Islam, seyogyanya
mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. Biarlah
Indonesia menjadi Sunni. Hasrat untuk men-Syiahkan Indonesia bisa
berdampak buruk bagi masa depan negeri Muslim ini. Masih banyak lahan
dakwah di muka bumi ini – jika hendak di-Syiahkan. Itulah jalan damai
untuk Muslim Sunni dan kelompok Syiah.
Kecuali, jika kaum Syiah melihat Muslim Sunni adalah aliran sesat yang wajib di-Syiahkan! Walahu a’lambil-shawab.
Oleh: Dr. Adian Husaini, insistnet.com