Jumat, 20 April 2012

Kisah gadis cilik pencinta Al Qur’an Saif Al Battar


 Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang anak kecil yang sangat mencintai Al Qur’an, Namanya Shafa’, gadis cilik Al-Jazair berusia 8thn sangat mencintai Al-Qur’an dan syaikh Sudais, Imam Masjidil Haram, sehingga ia juara 1 dalam musabaqoh Al-Qur’an tingkat Al-Jazair. Ia mampu meniru persis bacaan Syaikh Sudais, termasuk doa khatamul Qur’an. Saking cintanya ia pada Syekh Sudais, sampa ia tambahkan akhir namanya dengan Assudaisiyyah sehingga menjadi,   Shafa’ Assudaisiyyah.  Subhanallah…

Setiap saat ia meminta ibunya untuk menemukannya dengen syaikh  Sudais. Karena dari keluarga miskin, rumah saja tidak punya, ibunya selalu menghiburnya samabil mengatakan, insya Allah. Sampai pada suatu saat, Sahafa’ marah-marah dan menuduh ibunya berbohong terus dan tidak mau lagi membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ibunyapun panik. Saat melihat DR. Muhammad Assuwaini, pakar pendidikan dalam salah satu program TV lokal Al-Jazair, tiba-tiba saja hatinya tergerak untuk menelepon sang pakar dan menceritakan kasusnya. Ia mohon dihubungkan dengan Syaikh Sudais. Setelah Syaikh Sudais mendengar kisah tersebut, hati Beliau tergerak mengundang Shafa’ dan kedua orang tuannya ke Madinah dan Makkah sebagai tamu kehormatannya.
Saat bertemu syaikh Sudais, Shafa diminta membacakan doa khatmul Qur’an. Shafa’pun melantunkannya persis seperti Syaikh Sudais. Beliau terharu sampai menangis. Akhirnya, Syaikh Sudais memutuskan untuk mengambil Shafa’ menjadi anak angkatanya dan menyekolahkanya sampai ketingkat yang ia inginkan. Inilah secuil kemuliaan yang dilahirkan Al-Qur’an… Siapa yang ingin meraih kemuliaan Al-Qur’an, cintailah ia.. Selamat mencoba….(Sumber www.arrahmah.com)

Menghafal Al-Qur’an, Siapa Takut? Inilah 10 Triknya

Menghafal Al-Qur’an selalu menjadi idaman setiap Muslim, ia juga selalu menjadi batu pertama dalam menempuh perjalanan menuntut ilmu para ulama-ulama kita. Hal ini bisa kita temukan dalam setiap biografi para pewaris Nabi ini. Di sisi lain, menghafal Al-Qur’an juga menjadi salah satu bagian terpenting dalam berinteraksi dengan kitab pusaka umat Islam, Al-Qur’an.
Banyak sudah tulisan yang memuat trik dan tips menghafal Al-Qur’an, mulai dari zaman para Salafus Shaleh sampai sekarang. Namun ada berapa poin yang kadang kurang dipahami oleh para penghafal Al-Qur’an, ada yang lebih mendahulukan poin-poin sekunder dibanding yang primer, begitu pula ada yang lalai terhadap hal-hal yang primer padahal itu adalah poin yang harus dimiliki oleh para penghafal Al-Qur’an.
Ada sebuah buku (minibook) menarik yang dikarang oleh salah satu penulis produktif di Mesir, DR Rajib Sirjani. Dalam bukunya Kaifa Tahfadzul Qur’an ia membahas hal-hal yang harus diperhatikan oleh para penghafal Al-Qur’an. Secara garis besar ia membuat dua pembahasan. Pembahasan pertama tentang tips-tips yang bersifat primer (asasiyah) dan tips kedua bersifat sekunder (musa’idah). Dan dalam setiap pembahasan tips ada sepuluh poin yang harus diperhatikan.
TIPS-TIPS PRIMER (ASASIYAH).
Tips ini harus dimiliki oleh para penghafal Al-Qur’an karena menjadi hal yang sangat mendasar selama menghafal. Ada sepuluh poin yang harus dimiliki oleh para penghafal Al-Qur’an baik sebelum, sesudah atau selama ia menjalani proses menghafal Al-Qur’an.
Inilah sepuluh tips primer (asasiyah) menghafal Al-Qur’an:
1. Ikhlas
Ikhlas merupakan fondasi terpenting dalam setiap pekerjaan. Hal ini disebabkan karena siapa saja yang melakukan sebuah pekerjaan bukan karena mengharap ridha Allah maka pekerjaannya akan sia-sia saja. Ia juga akan menjadi orang yang pertama kali disidang pada hari kiamat.
Sebuah hadits dari Imam Hakim menerangkan bahwa orang yang menghafal Al-Qur’an terbagi menjadi tiga golongan; golongan yang ingin pamer, golongan yang ingin mencari makan dari hafalannya dan golongan yang memang murni karena Allah.
Ketika kita tidak bisa ikhlas secara utuh maka kita bisa menggunakan alternatif pembantu yaitu dengan memperbanyak niat yang baik seperti niat dapat memperbanyak baca Al-Qur’an, bisa bertahajjud sambil mengulang hafalan, berharap bisa meraih kemuliaan orang yang menghafal Al-Qur’an, berharap agar orang tua kita dapat diberikan mahkota pada hari kiamat, agar terjauh dari azab akhirat, agar dapat mengajarkannya kembali pada orang lain, agar dapat menjadi suri tauladan baik bagi orang Muslim atau yang non-Muslim atau niat-niat baik yang lainnya. Yang penting kita berniat karena Allah dan bukan karena dunia.
2. Keinginan yang kuat
Menghafal Al-Qur’an adalah sebuah pekerjaan yang amat mulia maka hanya orang yang benar-benar mempunyai niat yang kuatlah yang dapat mencapainya. Pekerjaan yang hebat hanya dimiliki oleh orang-orang yang hebat pula. Sama halnya ketika seluruh orang ingin masuk surga, apakah seluruh orang itu benar-benar memiliki tekad yang kuat untuk mencapainya, ternyata tidak, hanya segelintir orang bukan!
Keinginan yang kuat ini terpancar dari usaha yang ia lakukan untuk mencapainya. Dari usaha yang terus menerus inilah yang akan membuatnya menjadi sebuah kebiasaan. Dan dari kebiasaan inilah yang membuatnya terus menerus menghafal, mengulang dan mematangkan hafalannya.
3. Mengetahui nilai menghafal Al-Qur’an
Orang yang mengetahui nilai sesuatu pasti akan berkorban apapun untuk meraihnya. Kalau manusia biasanya selalu mencurahkan seluruh usaha untuk mendapatkan hal-hal yang bersifat duniawi lalu kenapa ia tidak melakukan hal yang sama untuk mencapai tujuan akhiratnya yang kekal.
Ketika kita mengetahui nilai pekerjaan yang kita lakukan maka kita akan semakin rindu untuk melakukannya. Ditambah lagi, orang yang mengetahui nilai suatu pekerjaan tidak sama dengan yang tidak mengetahuinya. Dan orang yang mengetahuinya secara global tentu tidak sama dengan yang mengetahuinya secara terperinci. Maka semakin kita mengetahui nilai pekerjaan itu lebih terperinci tentu akan membuat kita semakin berpacu untuk menggapainya.
Ada banyak kelebihan dan keutamaan bagi orang yang menghafal Al-Qur’an baik dalam Al-Qur’an itu sendiri atau hadits Nabi. Kita juga bisa menemukannya dalam beberapa literatur baik yang berbahasa Arab seperti At-tibyan fi adabi hamalatil Qur’an karya Imam Nawawi atau yang berbahasa Indonesia.
4. Mengamalkan apa yang ia hafal
Poin ini menjadi poin terpenting dari tujuan menghafal Al-Qur’an. Karena hafal semata tidak akan menghasilkan nilai yang berarti tanpa dibarengi dengan praktik realita. Hal inipun sudah disinggung oleh Anas bin Malik; berapa banyak orang yang membaca Al-Qur’an namun Al-Qur’an malah melaknatnya.
Metode inilah yang digunakan oleh para generasi terbaik, generasi sahabat. Umar bin Khatthab telah mengajarkan kita metode yang tokcer dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, ia tidak pernah menghafal sesuatu kecuali ia telah mengamalkannya dan ia akan pindah ke hafalan berikutnya setelah ia mengamalkannya dan begitu seterusnya.
Ali bin Abi Thalib juga pernah memprediksi bahwa nanti suatu saat akan ada sebuah kaum yang ilmu mereka tidak lebih dari kerongkongan saja karena apa yang mereka lakukan berbeda dengan apa yang mereka ketahui. Bukankah orang yang mengamalkan apa yang ia tahu akan Allah berikan padanya hal-hal yang belum ia tahu.
5. Meninggalkan dosa dan maksiat
Hati yang sering berbuat maksiat tidak akan bisa menampung cahaya Al-Qur’an. Semakin ia bermaksiat maka akan mempengaruhi hatinya. Ketika hatinya semakin keruh maka lemahlah kemampuannya dalam menghafal Al-Qur’an yang suci. Karena dosa ibarat sebuah titik, semakin banyak ia bermaksiat dan berdosa maka akan semakin banyaklah titik hitam dalam hatinya, namun ia bisa dihapus dengan bertaubat dan memperbanyak istighfar.
Imam Syafi’i juga pernah mengalami hal ini kemudian bertanya kepada Imam Waqi’ yang akhirnya beliau membuat dua syair yang sangat terkenal, Syi’ir Syakautu ila Waqi’. Seorang Tabi’in (Dohhak bin Mazahim) pernah berkata tak ada seorang pun yang belajar Al-Qur’an kemudian ia lupa kecuali karena dosa yang ia perbuat. Dan melupakan Al-Qur’an termasuk musibah terbesar.
6. Berdoa
Berdoa merupakan senjata orang Islam. Karena ia yakin bahwa tidak ada yang sia-sia dari doanya, ia selalu yakin bahwa Allah selalu mengabulkan doa mereka baik secara langsung, ditunda waktunya atau diganti dengan yang lebih baik.
Ada beberapa waktu yang tepat dalam berdoa seperti waktu sahur, usai shalat, sepuluh akhir Ramadhan, apalagi ketika kita sendiri dalam keheningan malam, ketika hujan, dalam perjalanan dan lain-lain. Selain itu ada beberapa tempat yang dapat mempercepat terkabulnya doa kita seperti di tanah haram (Mekkah dan Medinah), Hajar Aswad, Ka’bah, Raudhah dan lain-lain.
7. Pemahaman yang benar
Orang yang paham arti apa yang ia hafal akan lebih mudah menghafalnya dibanding mereka yang tidak paham. Dalam membantu pemahaman, kita bisa menggunakan beberapa alternatif seperti Al-Qur’an terjemah, tafsir yang simple atau yang lebih terperinci kajiannya.
8. Membaca dengan tajwid
Membaca Al-Qur’an dengan tajwid akan sangat membantu hafalan. Orang yang menghafal tanpa tajwid akan sangat sulit untuk dibenarkan ketika ia sudah selesai menghafal karena ia sudah terbiasa membaca dengan bacaannya yang salah. Apalagi orang yang membaca dengan tajwid ternyata mendapat pahala yang lebih besar.
Yang harus diperhatikan dalam belajar tajwid adalah harus mengambil dari seorang guru yang sudah mantap hafalan dan bacaannya, dan tidak cukup belajar dari buku saja. Setelah belajar dari seorang guru yang hebat mungkin dia bisa menggunakan sarana pembantu seperti mendengar dari kaset atau komputer dan lain-lain.
9. Terus membaca Al-Qur’an
Orang yang sering membaca Al-Qur’an akan lebih banyak mendapat pahala dan di sisi lain hal itu akan mempermudah dan memperkuat hafalannya. Karena terus menerus membaca Al-Quran akan memindahkan daya ingatannya dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang.
Biasanya para sahabat menghatamkan Al-Qur’an dalam seminggu. Hanya sebagian yang kurang dari itu dan hanya sebagian kecil yang lebih dari itu.
10. Membaca dalam shalat
Bagi yang berkesempatan menjadi imam maka ia dapat langsung mengulang hafalannya. Namun bagi yang tidak menjadi imam ia dapat melakukannya ketika shalat malam, usai shalat isya, shalat dhuha atau shalat sunnah lainnya.
Oleh: Falah Abu Ghuddah Mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Mahasiswa Akademi Al-‘Asyiroh Al-Muhammadiyah Kairo [voa-islam.com]

Kisah Nyata: Akhir hayat penggemar musik dan pencinta Al-Qur’an Saif Al Battar

Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku sungguh heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri: “Alangkah sabarnya mereka…setiap hari begitu…benar-benar mengherankan!”
Aku belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat orang-orang pilihan…Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada Allah.Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku. Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban sebagai orang terasing. Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
ditugaskan mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan, tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.  Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku terbatas.
Aku mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu, kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian untuk menolong korban.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.
Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.
Ucapkanlah “Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku.
Tetapi sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan itu membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang sekarat…Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
Aku diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada gunanya…
Suara lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening. Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata: “Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian. Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang membawa mayat.Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali.Tetapi perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.
Aku kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.
* Kejadian Yang Menakjubkan… Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu…sebuah kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.
Seseorang mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah terowongan menuju kota.
Ia turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung tersungkur seketika.
Aku dengan seorang kawan, -bukan yang menemaniku pada peristiwa yang pertama- cepat-cepat menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi rumah sakit agar langsung mendapatpenanganan.
Dia masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan perintah agama.
Ketika mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Ia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan suara amat lemah.
“Subhanallah! ” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan ia hampir mati.
Dalam kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan Al Quran seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: “Aku akan menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu… apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur’an yang merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap rongga.
Tiba-tiba suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang. Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah meninggal dunia.
Aku lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah  wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku. Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul sangat mengharukan.
Sampai di rumah sakit…
Kepada orang-orang di sanal kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium keningnya.
Semua orang yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana, almarhum juga menyantuni para janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian. Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku dengan menghafal dan mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku ayunkan,” kata almarhum.
Aku ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan.
Dalam liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
“Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah”.
Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya…
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat…
Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin…(Azzamul Qaadim, hal 36-42) Sumber : [“Saudariku Apa yang Menghalangimu Untuk Berhijab”; judul asli Kesudahan yang Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit : Akafa Press Hal. 48] www.arrahmah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar