Ini adalah sebuah kisah nyata tentang seorang anak
kecil yang sangat mencintai Al Qur’an, Namanya Shafa’, gadis cilik Al-Jazair
berusia 8thn sangat mencintai Al-Qur’an dan syaikh Sudais, Imam Masjidil Haram,
sehingga ia juara 1 dalam musabaqoh Al-Qur’an tingkat Al-Jazair. Ia mampu
meniru persis bacaan Syaikh Sudais, termasuk doa khatamul Qur’an. Saking
cintanya ia pada Syekh Sudais, sampa ia tambahkan akhir namanya dengan
Assudaisiyyah sehingga menjadi, Shafa’ Assudaisiyyah. Subhanallah…
Setiap saat ia meminta ibunya untuk menemukannya dengen
syaikh Sudais. Karena dari keluarga miskin, rumah saja tidak punya,
ibunya selalu menghiburnya samabil mengatakan, insya Allah. Sampai pada suatu
saat, Sahafa’ marah-marah dan menuduh ibunya berbohong terus dan tidak mau lagi
membaca dan menghafal Al-Qur’an. Ibunyapun panik. Saat melihat DR. Muhammad
Assuwaini, pakar pendidikan dalam salah satu program TV lokal Al-Jazair,
tiba-tiba saja hatinya tergerak untuk menelepon sang pakar dan menceritakan
kasusnya. Ia mohon dihubungkan dengan Syaikh Sudais. Setelah Syaikh Sudais
mendengar kisah tersebut, hati Beliau tergerak mengundang Shafa’ dan kedua
orang tuannya ke Madinah dan Makkah sebagai tamu kehormatannya.
Saat bertemu syaikh Sudais, Shafa diminta membacakan doa
khatmul Qur’an. Shafa’pun melantunkannya persis seperti Syaikh Sudais. Beliau
terharu sampai menangis. Akhirnya, Syaikh Sudais memutuskan untuk mengambil
Shafa’ menjadi anak angkatanya dan menyekolahkanya sampai ketingkat yang ia
inginkan. Inilah secuil kemuliaan yang dilahirkan Al-Qur’an… Siapa yang ingin
meraih kemuliaan Al-Qur’an, cintailah ia.. Selamat mencoba….(Sumber www.arrahmah.com)
Menghafal Al-Qur’an, Siapa Takut? Inilah 10 Triknya
Menghafal Al-Qur’an selalu menjadi idaman setiap Muslim, ia juga selalu
menjadi batu pertama dalam menempuh perjalanan menuntut ilmu para ulama-ulama
kita. Hal ini bisa kita temukan dalam setiap biografi para pewaris Nabi ini. Di
sisi lain, menghafal Al-Qur’an juga menjadi salah satu bagian terpenting dalam
berinteraksi dengan kitab pusaka umat Islam, Al-Qur’an.
Banyak sudah tulisan yang memuat trik dan tips menghafal Al-Qur’an, mulai dari
zaman para Salafus Shaleh sampai sekarang. Namun ada berapa poin yang kadang
kurang dipahami oleh para penghafal Al-Qur’an, ada yang lebih mendahulukan
poin-poin sekunder dibanding yang primer, begitu pula ada yang lalai terhadap
hal-hal yang primer padahal itu adalah poin yang harus dimiliki oleh para
penghafal Al-Qur’an.
Ada sebuah buku (minibook) menarik yang dikarang oleh salah satu penulis
produktif di Mesir, DR Rajib Sirjani. Dalam bukunya Kaifa Tahfadzul Qur’an ia
membahas hal-hal yang harus diperhatikan oleh para penghafal Al-Qur’an. Secara
garis besar ia membuat dua pembahasan. Pembahasan pertama tentang tips-tips
yang bersifat primer (asasiyah) dan tips kedua bersifat sekunder (musa’idah).
Dan dalam setiap pembahasan tips ada sepuluh poin yang harus diperhatikan.
TIPS-TIPS PRIMER (ASASIYAH).
Tips ini harus dimiliki oleh para penghafal Al-Qur’an karena menjadi hal yang
sangat mendasar selama menghafal. Ada sepuluh poin yang harus dimiliki oleh
para penghafal Al-Qur’an baik sebelum, sesudah atau selama ia menjalani proses
menghafal Al-Qur’an.
Inilah sepuluh tips primer (asasiyah) menghafal Al-Qur’an:
1. Ikhlas
Ikhlas merupakan fondasi terpenting dalam setiap pekerjaan. Hal ini disebabkan
karena siapa saja yang melakukan sebuah pekerjaan bukan karena mengharap ridha
Allah maka pekerjaannya akan sia-sia saja. Ia juga akan menjadi orang yang
pertama kali disidang pada hari kiamat.
Sebuah hadits dari Imam Hakim menerangkan bahwa orang yang menghafal Al-Qur’an
terbagi menjadi tiga golongan; golongan yang ingin pamer, golongan yang ingin
mencari makan dari hafalannya dan golongan yang memang murni karena Allah.
Ketika kita tidak bisa ikhlas secara utuh maka kita bisa menggunakan alternatif
pembantu yaitu dengan memperbanyak niat yang baik seperti niat dapat
memperbanyak baca Al-Qur’an, bisa bertahajjud sambil mengulang hafalan,
berharap bisa meraih kemuliaan orang yang menghafal Al-Qur’an, berharap agar
orang tua kita dapat diberikan mahkota pada hari kiamat, agar terjauh dari azab
akhirat, agar dapat mengajarkannya kembali pada orang lain, agar dapat menjadi
suri tauladan baik bagi orang Muslim atau yang non-Muslim atau niat-niat baik
yang lainnya. Yang penting kita berniat karena Allah dan bukan karena dunia.
2. Keinginan yang kuat
Menghafal Al-Qur’an adalah sebuah pekerjaan yang amat mulia maka hanya orang
yang benar-benar mempunyai niat yang kuatlah yang dapat mencapainya. Pekerjaan
yang hebat hanya dimiliki oleh orang-orang yang hebat pula. Sama halnya ketika
seluruh orang ingin masuk surga, apakah seluruh orang itu benar-benar memiliki
tekad yang kuat untuk mencapainya, ternyata tidak, hanya segelintir orang
bukan!
Keinginan yang kuat ini terpancar dari usaha yang ia lakukan untuk mencapainya.
Dari usaha yang terus menerus inilah yang akan membuatnya menjadi sebuah
kebiasaan. Dan dari kebiasaan inilah yang membuatnya terus menerus menghafal,
mengulang dan mematangkan hafalannya.
3. Mengetahui nilai menghafal Al-Qur’an
Orang yang mengetahui nilai sesuatu pasti akan berkorban apapun untuk
meraihnya. Kalau manusia biasanya selalu mencurahkan seluruh usaha untuk
mendapatkan hal-hal yang bersifat duniawi lalu kenapa ia tidak melakukan hal
yang sama untuk mencapai tujuan akhiratnya yang kekal.
Ketika kita mengetahui nilai pekerjaan yang kita lakukan maka kita akan semakin
rindu untuk melakukannya. Ditambah lagi, orang yang mengetahui nilai suatu
pekerjaan tidak sama dengan yang tidak mengetahuinya. Dan orang yang
mengetahuinya secara global tentu tidak sama dengan yang mengetahuinya secara
terperinci. Maka semakin kita mengetahui nilai pekerjaan itu lebih terperinci
tentu akan membuat kita semakin berpacu untuk menggapainya.
Ada banyak kelebihan dan keutamaan bagi orang yang menghafal Al-Qur’an baik
dalam Al-Qur’an itu sendiri atau hadits Nabi. Kita juga bisa menemukannya dalam
beberapa literatur baik yang berbahasa Arab seperti At-tibyan fi adabi
hamalatil Qur’an karya Imam Nawawi atau yang berbahasa Indonesia.
4. Mengamalkan apa yang ia hafal
Poin ini menjadi poin terpenting dari tujuan menghafal Al-Qur’an. Karena hafal
semata tidak akan menghasilkan nilai yang berarti tanpa dibarengi dengan
praktik realita. Hal inipun sudah disinggung oleh Anas bin Malik; berapa banyak
orang yang membaca Al-Qur’an namun Al-Qur’an malah melaknatnya.
Metode inilah yang digunakan oleh para generasi terbaik, generasi sahabat. Umar
bin Khatthab telah mengajarkan kita metode yang tokcer dalam berinteraksi
dengan Al-Qur’an, ia tidak pernah menghafal sesuatu kecuali ia telah
mengamalkannya dan ia akan pindah ke hafalan berikutnya setelah ia
mengamalkannya dan begitu seterusnya.
Ali bin Abi Thalib juga pernah memprediksi bahwa nanti suatu saat akan ada
sebuah kaum yang ilmu mereka tidak lebih dari kerongkongan saja karena apa yang
mereka lakukan berbeda dengan apa yang mereka ketahui. Bukankah orang yang
mengamalkan apa yang ia tahu akan Allah berikan padanya hal-hal yang belum ia
tahu.
5. Meninggalkan dosa dan maksiat
Hati yang sering berbuat maksiat tidak akan bisa menampung cahaya Al-Qur’an.
Semakin ia bermaksiat maka akan mempengaruhi hatinya. Ketika hatinya semakin
keruh maka lemahlah kemampuannya dalam menghafal Al-Qur’an yang suci. Karena
dosa ibarat sebuah titik, semakin banyak ia bermaksiat dan berdosa maka akan
semakin banyaklah titik hitam dalam hatinya, namun ia bisa dihapus dengan
bertaubat dan memperbanyak istighfar.
Imam Syafi’i juga pernah mengalami hal ini kemudian bertanya kepada Imam Waqi’
yang akhirnya beliau membuat dua syair yang sangat terkenal, Syi’ir Syakautu
ila Waqi’. Seorang Tabi’in (Dohhak bin Mazahim) pernah berkata tak ada seorang
pun yang belajar Al-Qur’an kemudian ia lupa kecuali karena dosa yang ia
perbuat. Dan melupakan Al-Qur’an termasuk musibah terbesar.
6. Berdoa
Berdoa merupakan senjata orang Islam. Karena ia yakin bahwa tidak ada yang
sia-sia dari doanya, ia selalu yakin bahwa Allah selalu mengabulkan doa mereka
baik secara langsung, ditunda waktunya atau diganti dengan yang lebih baik.
Ada beberapa waktu yang tepat dalam berdoa seperti waktu sahur, usai shalat,
sepuluh akhir Ramadhan, apalagi ketika kita sendiri dalam keheningan malam,
ketika hujan, dalam perjalanan dan lain-lain. Selain itu ada beberapa tempat
yang dapat mempercepat terkabulnya doa kita seperti di tanah haram (Mekkah dan
Medinah), Hajar Aswad, Ka’bah, Raudhah dan lain-lain.
7. Pemahaman yang benar
Orang yang paham arti apa yang ia hafal akan lebih mudah menghafalnya dibanding
mereka yang tidak paham. Dalam membantu pemahaman, kita bisa menggunakan
beberapa alternatif seperti Al-Qur’an terjemah, tafsir yang simple atau yang
lebih terperinci kajiannya.
8. Membaca dengan tajwid
Membaca Al-Qur’an dengan tajwid akan sangat membantu hafalan. Orang yang
menghafal tanpa tajwid akan sangat sulit untuk dibenarkan ketika ia sudah
selesai menghafal karena ia sudah terbiasa membaca dengan bacaannya yang salah.
Apalagi orang yang membaca dengan tajwid ternyata mendapat pahala yang lebih
besar.
Yang harus diperhatikan dalam belajar tajwid adalah harus mengambil dari
seorang guru yang sudah mantap hafalan dan bacaannya, dan tidak cukup belajar
dari buku saja. Setelah belajar dari seorang guru yang hebat mungkin dia bisa
menggunakan sarana pembantu seperti mendengar dari kaset atau komputer dan
lain-lain.
9. Terus membaca Al-Qur’an
Orang yang sering membaca Al-Qur’an akan lebih banyak mendapat pahala dan di
sisi lain hal itu akan mempermudah dan memperkuat hafalannya. Karena terus
menerus membaca Al-Quran akan memindahkan daya ingatannya dari memori jangka
pendek ke memori jangka panjang.
Biasanya para sahabat menghatamkan Al-Qur’an dalam seminggu. Hanya sebagian
yang kurang dari itu dan hanya sebagian kecil yang lebih dari itu.
10. Membaca dalam shalat
Bagi yang berkesempatan menjadi imam maka ia dapat langsung mengulang
hafalannya. Namun bagi yang tidak menjadi imam ia dapat melakukannya ketika
shalat malam, usai shalat isya, shalat dhuha atau shalat sunnah lainnya.
Oleh: Falah Abu Ghuddah Mahasiswa Universitas Al-Azhar dan Mahasiswa Akademi
Al-‘Asyiroh Al-Muhammadiyah Kairo [voa-islam.com]
Kisah Nyata: Akhir hayat penggemar musik dan pencinta Al-Qur’an Saif Al Battar
Tatkala
masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan
yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan
begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang.
Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang
menyengat tulang.
Aku sungguh
heran. Bahkan hingga aku berkata kepada diri sendiri: “Alangkah sabarnya
mereka…setiap hari begitu…benar-benar mengherankan!”
Aku belum
tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat orang-orang
pilihan…Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada
Allah.Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang
matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu
kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Setelah
tamat dari pendidikan, aku ditugaskan ke kota yang jauh dari kotaku.
Perkenalanku dengan teman-teman sekerja membuatku agak ringan menanggung beban
sebagai orang terasing. Di sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an.
Tak ada lagi suara ibu yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar
hidup sendirian, jauh dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
ditugaskan
mengatur lalu lintas di sebuah jalan tol. Di samping menjaga keamanan jalan,
tugasku membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan.
Pekejaan
baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan tugas-tugasku dengan semangat dan
dedikasi tinggi. Tetapi, hidupku bagai selalu diombang-ambingkan
ombak. Aku bingung dan sering melamun sendirian…banyak waktu luang…pengetahuanku
terbatas.
Aku mulai
jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama. Aku sebatang kara. Hampir tiap
hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan orang-orang yang mengadu kecopetan
atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku bosan dengan rutinitas. Sampai suatu
hari terjadilah suatu peristiwa yang hingga kini tak pernah kulupakan.
Ketika itu,
kami dengan seorang kawan sedang bertugas di sebuah pos jalan. Kami asyik
ngobrol…tiba-tiba kami dikagetkan oleh suara benturan yang amat keras. Kami
mengalihkan pandangan. Ternyata, sebuah mobil bertabrakan dengan mobil lain
yang meluncur dari arah berlawanan. Kami segera berlari menuju tempat kejadian
untuk menolong korban.
Kejadian
yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah satu mobil daIam kondisi sangat
kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari mobil lalu kami bujurkan di tanah.
Kami
cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan amat
mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi koma.
Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.
Ucapkanlah
“Laailaaha Illallaah…Laailaaha Illallaah…” perintah temanku.
Tetapi
sungguh mengherankan, dari mulutnya malah meluncur lagu-lagu. Keadaan itu
membuatku merinding.Temanku tampaknya sudah biasa menghadapi orang-orang yang
sekarat…Kembali ia menuntun korban itu membaca syahadat.
Aku diam
membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku belum
pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi seperti
ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat. Tetapi…
keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak ada
gunanya…
Suara
lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak
bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal
dunia. Kami segera membawa mereka ke dalam mobil.
Temanku
menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan,
hening. Kesunyian pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara
tentang hakikat kematian dan su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata:
“Manusia akan mengakhiri hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu
biasanya pertanda dari apa yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia
bercerita panjang lebar padaku tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam
buku-buku Islam. Ia juga berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya
sesuai dengan masa lalunya secara lahir batin.
Perjalanan
ke rumah sakit terasa singkat oleh pembicaraan kami tentang kematian.
Pembicaraan itu makin sempurna gambarannya tatkala ingat bahwa kami sedang
membawa mayat.Tiba-tiba aku menjadi takut mati. Peristiwa ini benar-benar
memberi pelajaran berharga bagiku. Hari itu, aku shalat kusyu’ sekali.Tetapi
perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.
Aku kembali
pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang menimpa dua
orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu, aku memang
benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau tenggelam
menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan lagu yang
pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.
* Kejadian
Yang Menakjubkan… Selang enam bulan dari peristiwa mengerikan itu…sebuah
kejadian menakjubkan kembali terjadi di depan mataku.
Seseorang
mengendarai mobilnya dengan pelan, tetapi tiba-tiba mobilnya mogok di sebuah
terowongan menuju kota.
Ia turun
dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di belakang
mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan kecepatan
tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung tersungkur
seketika.
Aku dengan
seorang kawan, -bukan yang menemaniku pada peristiwa yang pertama- cepat-cepat
menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami menghubungi
rumah sakit agar langsung mendapatpenanganan.
Dia masih
muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan perintah
agama.
Ketika
mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat
memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di
dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Ia
melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan suara amat lemah.
“Subhanallah!
” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci
Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan ia
hampir mati.
Dalam
kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya
yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan Al Quran seindah
itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: “Aku akan menuntun membaca syahadat
sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu… apalagi aku Sudah punya
pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku dan
kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur’an yang merdu
itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke setiap
rongga.
Tiba-tiba
suara itu berhenti. Aku menoleh ke belakang. Kusaksikan dia mengacungkan jari
telunjuknya lalu bersyahadat. Kepalanya terkulai, aku melompat ke belakang.
Kupegang tangannya, detak jantungnya nafasnya, tidak ada yang terasa. Dia telah
meninggal dunia.
Aku lalu
memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku, takut
diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah
wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku.
Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul
sangat mengharukan.
Sampai di
rumah sakit…
Kepada
orang-orang di sanal kami mengabarkan perihal kematian pemuda itu dan peristiwa
menjelang kematiannya yang menakjubkan. Banyak orang yang terpengaruh dengan
kisah kami, sehingga tak sedikit yang meneteskan air mata. Salah seorang dari
mereka, demi mendengar kisahnya, segera menghampiri jenazah dan mencium
keningnya.
Semua orang
yang hadir memutuskan untuk tidak beranjak sebelum mengetahui secara pasti
kapan jenazah akan dishalatkan. Mereka ingin memberi penghormatan terakhir
kepada jenazah, semua ingin ikut menyalatinya.
Salah seorang
petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan jenazah
hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan ketika
kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa. Pekerjaan
itu rutin ia lakukan setiap hari Senin. Di sana, almarhum juga menyantuni para
janda, anak yatim dan orang-orang miskin. Ketika tejadi kecelakaan, mobilnya
penuh dengan beras, gula, buah-buahan dan barang-barang kebutuhan pokok
lainnya. Ia juga tak lupa membawa buku-buku agama dan kaset-kaset pengajian.
Semua itu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang yang ia santuni. Bahkan ia
juga membawa permen untuk dibagi-bagikan kepada anak-anak kecil.
Bila ada
yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab dengan
halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku dengan menghafal dan
mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset
pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku
ayunkan,” kata almarhum.
Aku ikut menyalati
jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan.
Dalam liang
lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.
“Dengan nama
Allah dan atas ngama Rasulullah”.
Pelan-pelan,
kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu,
sesungguhnya dia akan ditanya…
Almarhum
menghadapi hari pertamanya dari hari-hari akhirat…
Dan aku…
sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari pertamaku di dunia. Aku benar-benar
bertaubat dari kebiasaan burukku. Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di
masa lalu dan meneguhkanku untuk tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup
yang baik (khusnul khatimah) serta menjadikan kuburanku dan kuburan kaum
muslimin sebagai taman-taman Surga. Amin…(Azzamul Qaadim, hal 36-42) Sumber :
[“Saudariku Apa yang Menghalangimu Untuk Berhijab”; judul asli Kesudahan yang
Berlawanan; Asy Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit : Akafa Press Hal. 48]
www.arrahmah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar