Sabtu, 28 Januari 2012

Dianggap berbohong, Albayyinat siap berdialog mengenai kesesatan syiah

Jumat, 27/01/2012 16:02 WIB | Arsip | Cetak
Lembaga pengkajian yang concern meneliti problematika Syiah. Al Bayyinat, melalui Ketua Bidang Organisasinya, Habib Achmad Zein Al Kaff, mengaku sangat terkejut dengan komentar Said Agil Siraj ketika menanggapi keterangan Menteri Agama terkait aliran Syiah yang sudah difatwa sesat oleh banyak ulama. Dalam rilisnya kepada Eramuslim.com, ia menyayangkan pernyataan Said Aqil tersebut. Padahal saat ini umat Islam khususnya warga Nahdhiyyin sedang bangun untuk melawan Syiah.

Tuhan Maha Jahat?

Oleh Dinar Zul Akbar

Di pojokan rumah cukup sederhana. Terlihat seorang anak kecil yang tampak merana. “Ayah jahat, ayah jahat” begitulah ia memprotes sang Bapak tercinta. Usut punya usut ternyata sang Ayah tak “berhasil” memenuhi apa yang ia minta.
Lain lagi dengan seorang manusia sok suci di sebuah ruangan. Berhujatlah ia “Ya Allah Engkau jahat, dosa apa yang telah aku lakukan”. Hanya karna Allah sedang menegur atau memberikan ia sedikit cobaan....


Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menurut Syari'at Islam

Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.

Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak,

Kamis, 26 Januari 2012

Gubernur Zuhud Yang Menjadi Kuli Di Pasar

Di antara sejumlah peperangan yang paling dahsyat adalah Perang Khandaq. Kala itu kaum Yahudi Madinah melakukan persekongkolan dengan musyrikin Makkah yang terdiri atas berbagai golongan, dan bergabung menjadi satu untuk menghancurkan umat Islam di Madinah.

Wahdah Islamiyah - Pemerintah Jepang Undang Wahdah Islamiyah

Wahdah Islamiyah - Pemerintah Jepang Undang Wahdah Islamiyah

Terpesona dengan Suara Adzan

Kamis, 26/01/2012 10:51 WIB | Arsip | Cetak
Aktor Irlandia Liam Neeson sedang mempertimbangkan untuk masuk Islam setelah terpesona oleh agama Islam saat dirinya melakukan syuting di Turki.
Bintang film yang besar sebagai seorang Katolik taat ini pernah menjadi anak altar di gereja setempat dan bahkan pernah ditunjuk untuk menjadi pendeta.
Namun,

Selasa, 24 Januari 2012

MUI Pusat Akan Keluarkan Fatwa Sesat Ajaran Syiah

Rabu, 25/01/2012 11:31 WIB | Arsip | Cetak
Selasa siang (24/01) 27 para ulama se Jawa Timur melakukan rapat mengenai konflik Syiah di Jawa Timur Indonesia dengan MUI Pusat, di kantor MUI Jakarta Pusat. Delegasi tersebut terdiri dari MUI Seluruh Jatim, Pengurus NU Jatim, dan juga Persatuan Ulama Madura (PASRA).
Dalam pertemuan tersebut, MUI Jatim menyampaikan fatwa kesesatan Syiah yang telah mereka buat.

Mantan Pengurus IJABI: Syiah Seratus Persen Bertolak Belakang Dengan Islam

Ustadz Roisul Hukama, Mantan Pengurus Ikatan Jama’ah Ahlul Bayt Indonesia (IJABI) ini membeberkan kesesatan ajaran Syiah. Menurutnya, ajaran Syiah sudah bertolak belakang seratus persen dengan ajaran Islam.
“Bukan lagi separuh persen, tapi seratus persen.

MUSDA II DPD Wahdah Islamiyah Makassar

Dewan Pimpinan Daerah Wahdah Islamiyah Makassar telah mengadakan Musyawarah Daerah yang ke-2 (MUSDA II). Hajatan tiap 4 tahun ini dilaksanakan di Aula Masjid Darul Hikmah, Antang Raya pada hari Jum’at, 26 Safar 1433. Kegiatan ini dibuka oleh Ketua Umum DPP Wahdah Islamiyah, Ustadz H. Muhammad Zaitun Rasmin, Lc. MA. Beberapa pengurus DPP juga sempat menghadiri acara pembukaan diantaranya, Wakil Ketua Umum DPP WI, Ustadz H. Muhammad Ikhwan Abdul Jalil, Lc. dan Sekjen DPP WI, Ustadz Ir. Iskandar Kato, MM.

Umat Islam Cirebon Siap Bubarkan Geeta School yang Larang Jilbab

CIREBON (voa-islam.com) - GAPAS (Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat) berang melihat adanya pelarangan jilbab di Geeta International School. Kota Cirebon yang selama ini dikenal sebagai kota yang amat religius penduduk muslimnya harus terusik lantaran sikap keras kepala pihak Geeta International School yang belum mencabut aturan larangan berjilbab bagi siswinya.
Ustadz Andi Mulya pimpinan GAPAS Cirebon menuturkan bahwa sampai saat ini pihak Geeta International School belum mencabut larangan berjilbab.
“Sampai saat ini pelarangan jilbab itu belum dicabut, yang jelas kita menyayangkan sekali kepada pihak Geeta School  atas pelarangan jilbab itu karena Geeta School itu sendiri kan sekolah umum bukan sekolah agama, artinya setiap orang punya hak mengenakan atribut agamanya,” tutur ustadz Andi kepada voa-islam.com, Selasa (24/1/2012).
Bahkan semakin ngeyel, guru-guru di sekolah tersebut mogok mengajar sebagai bentuk protes dengan alasan tidak nyaman mengajar dan meminta anak tersebut dikeluarkan.
“Pihak Geeta School sampai saat ini tidak mencabut pelarangan jilbab itu, malah sampai sekarang berkembang, kemarin ada pemogokan dari guru-guru sekolah itu, karena merasa tidak nyaman mengajar, mereka meminta supaya anak itu dikeluarkan,” ungkapnya.
Padahal menurut ustadz Andi, guru-guru di sekolah tersebut kebanyakan beragama Islam, namun pemilik sekolah tersebut adalah orang India yang sepertinya non-muslim.
Lebih lanjut ustadz Andi mengungkapkan bahwa menurut temuan GAPAS,  Geeta International School hanya memiliki izin di Dinas Pendidikan untuk sekolah TK dan SD saja, adapun SMP sampai SMA tidak memiliki izin.
“Sekolah ini pun kelihatannya menyalahi aturan, setelah kejadian ini terbongkar bahwa selama ini sekolahnya mulai dari TK sampai SMA, tapi menurut Disdik hanya TK dan SD saja yang memiliki izin, yang lainnya tidak,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa kondisi yang sangat memprihatinkan dialami murid SD yang mengenakan jilbab lantaran menerima perlakuan intimidasi dan diskriminatif lantaran proses belajarnya dikucilkan dari teman-temannya.
“Pihak orang tua murid juga sekarang sudah melapor ke Polisi. Ternyata setelah memakai jilbab, anak itu sekarang belajarnya dikucilkan sendiri di ruang kepala sekolah tidak disamakan dengan murid-murid lain,” imbuhnya.
Pihak GAPAS sendiri menurut ustadz Andi akan mengerahkan  umat Islam Cirebon untuk membubarkan Geeta International School yang melarang siswinya berjilbab jika aparat tidak segera mengambil sikap tegas.
“Kami masih menunggu tindakan dari aparat kepolisian, jika aparat tidak bertindak tegas, bukan hanya GAPAS saja yang turun, seluruh umat Islam se-Cirebon akan turun, kita minta dibubarkan Geeta School itu,” tegasnya.

Solusi Damai Muslim Sunni – Kelompok Syi’ah

Pada 29 Desember 2011, terjadi peristiwa menggemparkan di Kabupaten Sampang, Madura, Jawa Timur.  Sebuah mushala dan beberapa rumah warga Syiah di Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, diserbu dan dibakar massa. Rumah dan mushalla itu adalah milik kelompok Syiah yang dipimpin oleh Tajul Muluk Ma’mun.
Kasus Sampang Madura itu mulai membuka mata banyak orang, bahwa ada masalah serius dalam soal hubungan antara orang-orang Muslim Sunni dan kelompok Syiah di Indonesia. Sebelumnya, berbagai kasus serupa – dalam skala kecil – sudah terjadi di berbagai tempat. Benih-benih konflik itu seperti sudah menyebar. Kasus Syiah Sampang itu, tentu saja, patut disesalkan, sebab konflik semacam ini harusnya bisa diredam jauh-jauh sebelumnya. Banyak pihak yang kemudian menuding bahwa kasus itu adalah cerminan buruknya iklim kebebasan beragama di Indonesia.
Tetapi, analisis semacam itu terlalu parsial dan liberal. Semua masalah hubungan antar atau internal agama hanya dilihat dari satu aspek saja, yaitu aspek HAM dan “kebebasan beragama”. Padahal, yang kadangkala diabaikan dalam analisis soal keagamaan adalah soal “sensitivitas” yang sudah menyentuh aspek keyakinan. Seperti dalam kasus hubungan Muslim Sunni dan kelompok Syiah.
Kasus Syiah Sampang, Madura, misalnya, sudah berlarut-larut selama bertahun-tahun. Pada 20 Februari 2006, lebih dari 50 orang ulama Madura mengeluarkan pernyataan, bahwa aliran Syiah yang disebarkan oleh Tajul Muluk Ma’mun di Madura tergolong Syi’ah Ghulah (Rofidloh). Salah satu ajaran yang membuat hati kaum Muslim Sunni di Madura tersakiti adalah ajaran yang melecehkan para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Akar masalah
Pernyataan para ulama Madura itu membuktikan bahwa kasus Syiah di Sampang, adalah laksana bara dalam sekam. Kasus ini tidak segera diselesaikan, sehingga “bara” itu akhirnya meledak, dan mengagetkan banyak orang. Muncullah opini seolah-olah kelompok Syiah di Indonesia tidak mendapatkan hak kebebasan beragama dari kaum Muslim Indonesia; bahwa mereka terzalimi.
Masalah Sampang ini tentu memerlukan kajian dan penelitian yang serius. Yang jelas di Indonesia, kelompok Syiah terbukti sangat agresif dalam menyerang ajaran-ajaran Islam yang dianut oleh mayoritas Muslim di Indonesia. Ini sulit dipisahkan dari sejarah kelahiran kelompok Syiah itu sendiri, yang menganggap hak kekhalifahan Ali radhiyallahu ‘anhu dirampas oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, dan Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhuma. Tidak heran, jika ketiga sahabat utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam itu sering menjadi bulan-bulanan caci maki kaum Syi’ah.
Begitu pula ummul mukminin, Aisyah radhiyallahu ‘anha yang sangat dicintai kaum Muslimin tak lepas dari berbagai fitnah dan cemoohan kaum Syiah. Padahal, Aisyah adalah istri Nabi yang mulia. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat di pangkuan Aisyah dan dikuburkan di rumah Aisyah pula. Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah ulama wanita yang meriwayatkan 2210 hadits. Dari jumlah itu, 286 hadits tercantum dalam shahih Bukhari dan Muslim. Ada sekitar 150 ulama Tabi’in yang menimba ilmu dari Aisyah. (Lihat, K.H. Ubaidillah Saiful Akhyar Lc, Aisyah, The Inspiring Woman, (Yogyakarta: Madania, 2010).
Jadi, keutamaan Aisyah radhiyallahu ‘anha sudah begitu masyhur dan disampaikan sendiri oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sangat wajar, jika kaum Muslim akan terluka hatinya jika wanita yang sangat mulia dan agung ini dicaci-maki.
Masalahnya, di Indonesia, berbagai penerbitan kaum Syiah terbukti sulit menyembunyikan caci-maki terhadap para sahabat dan istri Nabi yang mulia tersebut. Padahal, dalam buku-buku tersebut, kadangkala disebutkan, bahwa penulis buku Syiah itu mengaku ingin membangun persaudaraan dengan kaum Muslim Sunni. Sebut satu contoh, buku berjudul The Shia, Mazhab Syiah, Asal-usul dan Perkembangannya karya Hashim al-Musawi (Jakarta: Lentera, 2008). Secara halus, buku ini juga mendiskreditkan Abu Bakar dan Umar radhiyallahu ‘anhuma. Misalnya, dalam hal pencatatan sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Sumber-sumber historis mengindikasikan beragam pendapat berbeda mengenai penulisan kata-kata Nabi. Para Imam Ahlulbait Nabi yakin perlunya menulis atau mencatat kata-kata Nabi dan menjaganya dari hilang atau didistorsi. Imam Ali beserta putranya, al-Hasan, memerintahkan pencatatan sabda Nabi dan pendokumentasian sumber-sumbernya. Menurut ad-Dailami, Imam Ali berkata: “Bila kamu mencatat sebuah sabda, sebutkan juga sumbernya.” (Catatan kaki: Hasan ash-Shadr, asy-Syiah wa Finun al-Islam). Imam Ali sendiri mencatat sabda-sabda Nabi dalam sebuah surat gulungan, dan surat gulungan ini diwarisi oleh para imam keturunan Imam Ali. Sementara itu, Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar melarang pencatatan sabda Nabi, dan para penguasa Umayah juga memberlakukan larangan ini sampai Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah dan mengirim pesan berikut ini kepada warga Madinah… (Catatan kaki: Ahmad bin Ali Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari be Syarh Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Ihya at-Turats al-Arabi, ed. Ke-4, 1408 (1988)).
Salah paham
Cara kelompok Syiah dalam mengkritik Abu Bakar dan Umar bin Khatab dalam soal pembakaran hadits Nabi itu tentu saja tidak fair dan tidak sesuai dengan fakta. Masalah pencatatan hadits di kalangan sahabat Nabi juga sudah dibahas dengan sangat mendalam oleh Dr. M. Musthafa al-A’zhami dalam bukunya, “Studies in Early Hadits Literature” (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 2000). Dalam buku yang merupakan disertasi doktornya di Cambridge University ini, al-A’zhami menunjukkan data adanya 50 sahabat Nabi yang melakukan pencatatan hadits. Termasuk Abu Bakar dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma. Berita tentang Abu Bakar yang membakar kumpulan haditsnya diragukan keabsahannya oleh adh-Dhahabi. Bukti lain yang meragukan riwayat pembakaran hadits tersebut adalah bahwasanya, Abu Bakar sendiri mengirim surat kepada ‘Amr bin al-Ash, yang memuat sejumlah ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Surat senada yang mengandung hadits Nabi juga dikirim Abu Bakar kepada Gubernur Anas bin Malik di Bahrain.
Riwayat tentang kasus pembakaran hadits oleh Umar bin Khathab juga diragukan kebenarannya. Al-A’zhami menelusuri tiga jalur riwayat berita tersebut, dan dia menemukan, semuanya mursal. Artinya, rangkaian cerita itu terputus, tidak sampai pada Umar bin Khathab. Juga, faktanya, Umar bin Khathab mengirimkan Ibn Mas’ud dan Abu Darda’ sebagai guru ke Kufah, padahal keduanya dilaporkan memiliki catatan hadits sebanyak 848 dan 280 buah. Umar sendiri juga terbiasa mengutip hadits-hadits Nabi dalam surat-surat resminya sebagai kepala negara. (hal. 34-60).
Jadi, tuduhan kelompok Syiah akan kejahatan Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhuma yang –katanya– menghalang-halangi pencatatan hadits Nabi perlu dijernihkan. Tuduhan semacam itu sangatlah tidak bersahabat dan membangun perdamaian.
Tahun 2009, sebuah kelompok penyebar Syiah di Indonesia menerbitkan sebuah buku berjudul “40 Masalah Syiah”.  Buku ini ditulis dengan tujuan untuk: “tumbuhnya saling pengertian di antara mazhab-mazhab dalam Islam.”  Itu tujuan yang tertulis dalam sampul belakangnya. Tetapi, jika disimak isi bukunya, buku ini justru mengejek dan melecehkan kaum Muslim Indonesia yang Sunni.
Betapa tidak! Lagi-lagi, buku semacam ini juga tak bisa lepas dari caci maki terhadap Abu Bakar, Umar, dan Utsman bin Affan. Padahal kaum Muslim sangat menghormati Ali radhiyallahu ‘anhu dan Ahlulbait. Fakta sejarahnya, Ali bin Abi Thalib pun tidak mencerca Abu Bakar, Umar, Utsman, juga Aisyah radhiyallahu ‘anha. Dalam bab berjudul “Syiah Melaknat Sahabat” disebutkan, bahwa Syiah tidak melaknat siapa pun kecuali yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya. Salah satu cara menggambarkan buruknya perilaku Utsman bin Affan adalah penghormatannya kepada al- Hakam bin abi al-ash. Padahal, orang ini sudah dilaknat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Ketika Utsman menjadi khalifah, ia menyambutnya dengan segala kemuliaan dan kehormatan. Utsman memberinya hadiah 1000 dirham dan mengangkat anaknya sebagai orang kepercayaannya.” (hal. 89).
Sebagaimana dalam kasus pencatatan hadits, tuduhan-tuduhan kelompok Syiah terhadap Utsman bin Affan juga sangat berlebihan. Kadangkala fakta ditafsirkan lain, sehingga seolah-olah, Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu ‘anhuma telah melakukan persekongkolan jahat melawan Nabi. Ibnul Arabi, dalam Kitabnya, al-Awashim wal-Qawashim,  menjelaskan, kasus al-Hakam terkait dengan kesaksian Utsman radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan izin kepada al-Hakam untuk kembali ke Madinah. Tetapi, Abu Bakar dan Umar tidak menerima saksi lain selain dari Utsman bin Affan, sehingga permintaan Utsman ditolak. Tetapi tidak diberitakan, saat menjadi Khalifah, Utsman menyambutnya dengan segala kemuliaan. Mengutip Ibn Taymiyah dalam Minhaj al-Sunnah, Dr. Muhammad al-Ghabban menjelaskan melalui bukunya, Kitab Fitnah Maqtal Utsman, bahwa semua riwayat tentang pengusiran Hakam adalah mursal, jadi sanadnya lemah.
Jalan Damai
Mungkin, karena kebencian terhadap Abu Bhakar, Umar, dan Utsman, maka kelompok Syiah – termasuk di Indonesia – tidak dapat menyembunyikan pikirannya untuk mencerca para sahabat Nabi yang mulia tersebut.  Itulah fakta ajaran Syiah yang disebarkan di Indonesia melalui berbagai penerbitan mereka. Jika manusia-manusia yang begitu mulia dan dihormati oleh kaum Muslim – seperti Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Aisyah radhiyallahu ‘anhuma — dicerca dan diperhinakan oleh kaum Syiah, apakah umat Islam bisa terima?
Itu tentu berbeda dengan Muslim Sunni yang menghormati semua sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kaum Muslim sangat mencintai Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya yang mulia. Tidak sepatutnya, ada orang yang menyimpan dendam abadi kepada manusia-manusia terbaik  yang dididik oleh Rasulullah sendiri. Bahkan, Abu Bakar, Umar bin Khathab adalah mertua Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Utsman bin Affan adalah menantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Kaum Muslim yang masih memiliki kesadaran keimanan, tentu tidak ridha jika para sahabat Nabi yang mulia itu difitnah dan dicaci-maki.
Jika kaum Syiah mengakui Sunni sebagai manhaj dalam Islam, seyogyanya mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Muslim Sunni. Biarlah Indonesia menjadi Sunni. Hasrat untuk men-Syiahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri Muslim ini. Masih banyak lahan dakwah di muka bumi ini – jika hendak di-Syiahkan. Itulah jalan damai untuk Muslim Sunni dan kelompok Syiah.
Kecuali, jika kaum Syiah melihat Muslim Sunni adalah aliran sesat yang wajib di-Syiahkan! Walahu a’lambil-shawab.

Oleh: Dr. Adian Husaini, insistnet.com

Senin, 23 Januari 2012

لاتسألوني عن حيتي


Ali Abdullah Saleh melarikan diri

Diktator Yaman Ali Abdullah Saleh telah meninggalkan ibukota Sana'a, menuju ke Amerika Serikat untuk menerima perawatan medis, seorang pejabat mengatakan.
Pejabat dari kantor Saleh mengatakan diktator Yaman tersebut meninggalkan ibukota pada hari Minggu kemarin (22/1) tapi tidak menentukan tujuan Saleh.

Ketika Derita Mengabadikan Cinta



Ketika Derita Mengabadikan Cinta

Kini tibalah saatnya kita semua mendengar nasihat pernikahan untuk kedua mempelai yang akan disampaikan oleh yang terhormat prof. Dr. Mamduh Hassan Al Gonzouri. Beliau adalah ketua Ikatan Doktor Cairo dan direktor Rumah Sakit Qashrul Aini, seorang pakar saraf terkemuka di Timur Tengah, yang tidak lain adalah juga pensyarah bagi kedua mempelai. Kepada Professor Mamduh dipersilakan”. Suara pengerusi majlis walimatul urs’ itu bergema di seluruh ruangan majlis pernikahan nan mewah di Hotel Hilton Ramses yang terletak di tepi Sungai Nil, Cairo. Seluruh hadirin menanti dengan penuh penasaran, apa kiranya yang akan disampaikan pakar saraf kelulusan London itu. Hati mereka menanti-nanti, mungkin akan ada kejutan baru mengenai hubungan pernikahan dengan kesihatan saraf dari professor yang murah dengan senyuman dan sering muncul di televisyen itu. Sejurus kemudian, seorang lelaki separuh baya berambut putih melangkah menuju pentas. Langkahnya tegap. Air muka di wajahnya memancarkan kewibawaan. Kepalanya yang sedikit botak meyakinkan bahawa ia memang ilmuwan berjaya. Sorot matanya tajam dan kuat, mengisyaratkan peribadi yang tegas. Sebaik sampai di pentas, kamera video dan lampu sorot terus menyunting ke arahnya. Sesaat sebelum berbicara, seperti biasa, ia sentuh bingkai kacamatanya,lalu…
Bismillah. Alhamdulillah. Wash shalatu was salamu’ala Rasulillah. Amma ba’du. Sebelumnya saya mohon maaf, saya tidak boleh memberikan nasihat lazimnya para ulama, para mubaligh, atau para ustadz. Namun pada kesempatan kali ini perkenankan saya bercerita. Cerita yang hendak saya sampaikan kali ini bukan khayalan belaka dan bukan cerita biasa. Tetapi sebuah pengalaman hidup yang tidak ternilai harganya, yang telah saya kecap dengan segenap jasad dan jiwa saya. Harapan saya, mempelai berdua dan seluruh hadirin yang dimuliakan Allah boleh mengambil hikmah dan pelajaran yang dikandungnya. Ambillah mutiaranya dan buanglah lumpurnya. Saya berharap kisah nyata saya ini dapat melunakkan hati-hati yang keras, melukiskan nuansa-nuansa cinta dan kedamaian, serta menghadirkan kesetiaan pada segenap hati yang menangkapnya.

Hadirin yang terhormat,
Tiga puluh lima tahun yang lalu. Saya adalah seorang pemuda, hidup di tengah keluarga bangsawan menengah ke atas. Ayah saya seorang perwira berpangkat tinggi, keturunan “Pasha” yang sangat terhormat di negeri ini. Ibu saya tak kalah terhormatnya, seorang lady dari keluarga bangsawan terkemuka di Ma’adi, ia berpendidikan tinggi, pakar ekonomi lulusan Sorbonne yang memegang jawatan penting dan sangat dihormati kalangan elit politik negeri ini. Saya anak sulung, adik saya dua, lelaki dan perempuan. Kami hidup dalam suasana kebang-sawanan dengan aturan hidup tersendiri. Perjalanan hidup sepenuhnya diatur dengan undang-undang dan norma kebangsawanan. Keluarga besar kami hanya mengenal pergaulan dengan kalangan bangsawan atau kalangan high class sepadan! Entah mengapa, saya merasa tidak puas dengan cara hidup seperti ini. Saya merasa terkongkong dan terbelenggu oleh golongan sosial yang didewa-dewakan keluarga. Saya tidak merasakan hidup sebenar yang saya cari. Saya lebih merasa hidup justeru saat bergaul dengan teman-teman dan kalangan bawahan yang menghadapi kehidupan dengan penuh tentangan dan perjuangan. Hal ini ternyata membuat keluarga saya gusar, mereka menganggap saya ceroboh dan tidak boleh menjaga status sosial keluarga. Pergaulan saya dengan orang-orang yang selalu basah keringat dalam mencari pengalas perut dianggap memalukan keluarga. Namun saya tidak ambil peduli. Kerana ayah memperoleh warisan yang sangat besar dari datuk, dan ibu mampu mengembangkannya berlipat kali ganda, maka kami hidup mewah dengan selera tinggi. Jika musim panas tiba, kami biasa bercuti ke luar negeri, ke Paris, Roma,
Sydney atau kota besar dunia lainnya. Jika bercuti di dalam negeri, ke Alexandria misalnya, maka pilihan keluarga kami adalah hotel San Stefano atau hotel mewah di dalam Montaza yang berdekatan dengan istana Raja Faruq. Sebaik masuk fakulti kedoktoran, saya dibelikan kereta mewah. Berkali-kali saya minta pada ayah untuk menggantikannya dengan kereta biasa sahaja, agar lebih senang bergaul dengan teman-teman dan para pensyarah. Tapi beliau menolak
mentah-mentah.
“Justeru dengan kereta mewah itu kamu akan dihormati siapa sahaja”.Tegas ayah. Terpaksa saya pakai kereta itu meskipun dalam hati saya membantah pendapat materialistik ayah. Dan agar lebih selesa di hati, saya meletakkan kereta itu jauh dari tempat kuliah. Di kuliah saya jatuh cinta pada teman sekuliah. Seorang gadis yang penuh pesona lahir batin. Saya tertarik dengan kesederhanaan, kesahajaan, dan kemuliaan akhlaknya. Dari keteduhan wajahnya saya menangkap dalam relung hatinya tersimpan kesetiaan dan kelembutan tiada tara. Kecantikan dan kecerdasannya
sangat menakjubkan. Ia gadis yang beradab dan berprestasi, sama seperti saya.
 Gayung pun bersambut. Dia ternyata juga menyintai saya. Saya merasa telah
menemukan pasangan hidup yang tepat. Kami berjanji untuk menempatkan cinta ini
dalam ikatan suci yang diredhai Allah, iaitu ikatan pernikahan. Akhirnya kami berdua
lulus dengan nilai tertinggi di fakulti. Maka datanglah saatnya untuk mewujudkan
impian kami berdua menjadi kenyataan. Kami ingin memadu cinta penuh bahagia di
jalan yang lurus. Saya buka keinginan untuk melamar dan menikahi gadis pujaan hati
pada keluarga. Saya ajak dia berkunjung ke rumah. Ayah, ibu dan saudara mara saya
semuanya takjub dengan kecantikan, kelembutan, dan kecerdasannya. Ibu saya
memuji cita rasanya dalam memilih warna pakaian serta tutur bahasanya yang halus.
Selepas kunjungan itu, ayah bertanya tentang pekerjaan ayahnya. Sebaik saja
saya beritahu, serta merta meledaklah badai kemarahan ayah dan terus membanting
gelas yang ada berdekatannya. Bahkan beliau mengancam: “Pernikahan ini tidak
boleh terjadi selamanya!” Beliau menegaskan bahawa selama beliau masih hidup
rancangan pernikahan dengan gadis berakhlak mulia itu tidak boleh terjadi. Pembuluh
otak saya nyaris pecah pada saat itu menahan remuk redam kepedihan batin yang
tak terkira.
Hadirin semua, adakah Anda tahu apa sebabnya? Kenapa ayah saya berlaku
sedemikian kejam? Sebabnya, kerana ayah calon isteri saya itu adalah tukang
cukur…..tukang cukur, ya sekali lagi…tukang cukur! Saya katakan dengan bangga.
Kerana meski hanya tukang cukur, dia seorang lelaki sejati. Seorang pekerja keras yang
telah menunaikan kewajipannya pada keluarganya. Dia telah mengukir satu prestasi
yang tak banyak dilakukan para bangsawan “Pasha”. Melalui tangannya ia lahirkan
tiga orang doktor, seorang jurutera dan seorang leftenan, meskipun dia sama sekali
tidak pernah mengecap bangku pendidikan.
Ibu, saudara dan seluruh keluarga berpihak pada ayah. Saya sendiri berdiri,
tiada yang membela. Pada saat yang sama adik lelaki saya membawa pasangannya
yang telah hamil dua bulan ke rumah. Minta direstui. Ayah, ibu terus merestui dan
menyiapkan biaya majlis pernikahannya sebanyak lima ratus ribu pound. Saya protes
kepada mereka, kenapa ada perlakuan tidak adil seperti ini? Kenapa saya yang ingin
bercinta di jalan yang lurus tidak direstui sedangkan adik saya yang jelas-jelas telah
berzina , bertukar ganti pasangan dan akhirnya menghamilkan pasangannya yang
entah keberapa di luar aqad nikah, malah direstui dan diberi biaya maha besar?
Dengan senang ayah menjawab: “Kerana kamu memilih pasangan hidup dari
golongan yang salah dan akan menurunkan martabat keluarga, sedangkan teman
wanita adik kamu yang hamil itu anak menteri, dia akan menaikkan martabat
keluarga besar Al Gonzouri”.
Hadirin semua, semakin perit luka dalam hati saya. Kalau dia bukan ayah saya
tentu sudah tentu saya maki habis-habisan. Mungkin itulah tanda kiamat mahu
datang, yang ingin hidup bersih dengan menikah dihalangi, namun yang jelas berzina
justeru terus dibiayai. Dan dengan menyebut asma Allah, saya putuskan untuk
membela cinta dan hidup saya. Saya ingin buktikan pada siapa saja, bahawa cara
dan pasangan bercinta pilihan saya adalah benar. Saya tidak ingin apa-apa selain
menikah dan hidup baik-baik sesuai dengan tuntunan suci yang saya yakini
kebenarannya. Itu saja. Saya bawa kaki ini melangkah ke rumah kasih dan saya temui
ayahnya. Dengan penuh kejujuran saya jelaskan apa yang sebenarnya terjadi,
dengan harapan beliau berlaku bijak merestui rancangan saya. Namun la haula wala
quwwata illa billah, saya dikejutkan oleh sikap beliau setelah mengetahui penolakan
keluarga saya. Beliau pun menolak mentah-mentah untuk mengahwinkan puterinya
dengan saya. Bahkan juga bersumpah tidak akan merestui hal itu selamanya, demi
kehormatan keluarganya. Dia tidak rela keluarganya menjadi bahan ejekan dan
hinaan kalangan “Pasha”. Namun puterinya berkeras ingin menikah dengan saya dan
tidak akan menikah kecuali dengan saya. Ternyata beliau menjawabnya dengan
reaksi lebih keras, beliau tidak menganggapnya sebagai anak jika tetap nekad
bernikah dengan saya.
Kami berdua bingung, jiwa kami terseksa. Keluarga saya menolak pernikahan ini
terjadi kerana alasan status sosial, sedangkan keluarga dia menolak kerana alasan
membela kehormatan. Berhari-hari saya dan dia hidup berlinang air mata, beratap
dan bertanya kenapa orang–orang itu tidak memiliki kesejukan cinta?
Setelah berfikir panjang, akhirnya saya putuskan untuk mengakhiri penderitaan
ini. Suatu hari saya ajak gadis yang saya cintai itu ke pejabat ma’adzun syari (petugas
pencatat nikah) disertai tiga orang sahabat karibku. Kami berikan identiti kami dan
kami minta ma’adzun untuk melaksanakan akad nikah kami secara syar’i mengikut
madzhab Imam Hanafi. Ketika ma’adzun menutun saya: “Mamduh, ucapkanlah
kalimat ini: Saya terima nikah kamu sesuai dengan sunnatullah wa rasulihi dan dengan
mahar yang kita sepakati bersama serta dengan memakai madzhab Imam Abu
Hanifah Radiyallahu ‘anhu”. Seketika itu bercucuranlah air mata saya, airmata dia
dan airmata ketiga sahabat saya yang tahu secara detail perjalanan menuju aqad
nikah itu. Kami keluar dari pejabat itu dengan rasmi sebagai suami-isteri yang sah di
mata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan manusia. Kami punya bukti sah sebagai suami
isteri yang diakui negara dan diakui syariat. Kami telah bertekad siap mengahadapi
kemungkinan hidup ini murni dengan kekuatan kami, tanpa sandaran dan dukungan
siapa pun kecuali pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Saya bisikkan dalam
telinga isteri saya agar menyiapkan kesabaran lebih, sebab rasanya penderitaan ini
belum berakhir.
Seperti yang saya duga, penderitaan itu belum berakhir, aqad nikah kami
membuat murka keluarga. Prahara kehidupan menanti di depan mata. Sebaik saja
mencium pernikahan kami, saya diusir oleh ayahku dari rumah. Kereta dan segala
kemudahan yang ada disita. Saya pergi dari rumah tanpa membawa apa-apa.
Kecuali beg lusuh berisi beberapa pasang pakaian dan duit sebanyak tujuh pound
saja, hanya empat pound! Itulah sisa duit yang saya miliki selesai membayar duit aqad
nikah di pejabat ma’adzun. Begitu pula dengan isteriku, ia turut diusir oleh
keluarganya. Lebih tragis ia hanya membawa beg kecil berisi pakaian dan wang
sebanyak dua pound, tidak lebih. Total, kami hanya pegang enam pound atau dua
dolar. Ah, apa yang boleh kami lakukan dengan enam pound. Kami berdua bertemu
di jalanan umpama gelandangan. Saat itu adalah bulan Februari, tepat pada puncak
musim dingin. Kami menggigil. Rasa cemas, takut, sedih, dan sengsara bercampur
aduk menjadi satu. Hanya saja saat mata kami yang berkaca-kaca bertatapan penuh
cinta dan jiwa menyatu dalam dakapan kasih sayang, rasa berdaya dan hidup
menjalari sukma kami.
“Habibi, maafkan Kanda yang membawamu ke jurang kesengsaraan seperti ini
Maafkan kanda!.
“Tidak Kanda tidak salah, langkah yang Kanda tempuh benar. Kita telah berfikir
benar dan bercinta dengan benar. Merekalah yang tidak boleh menghargai
kebenaran. Mereka masih diselimuti cara berfikir anak kecil. Suatu ketika mereka akan
tahu bahawa kita benar dan tindakan mereka salah. Saya tidak menyesal dengan
langkah yang kita tempuh ini, percayalah, insya Allah, saya akan sentiasa
mendampingi Kanda, selama Kanda setia membawa dinda di jalan yang lurus. Kita
akan buktikan pada mereka bahawa kita boleh hidup dan berjaya dengan keyakinan
cinta kita. Suatu ketika saat kita gapai kejayaan itu, kita hulurkan tangan kita dan kita
berikan senyuman kita pada mereka dan mereka akan menangis haru. Airmata
mereka akan mengalir deras seperti derasnya airmata derita kita saat ini.” Jawab isteri
saya dengan terisak dalam pelukan. Kata-katanya memberikan pengaruh yang luar
biasa dalam diri saya. Lahirlah rasa optimisme untuk hidup. Rasa takut dan cemas itu
sirna seketika. Apalagi teringat bahawa satu bulan lagi kami akan dilantik menjadi
doktor. Dan sebagai lulusan terbaik masing-masing dari kami akan menerima
penghargaan dan wang sebanyak 40 pound.
Malam semakin larut dan hawa dingin semakin menggigit. Kami duduk di kaki
lima kedai berdua sebagai orang melarat yang tidak punya apa-apa. Dalam
kebekuan otak kami terus berputar mencari jalan keluar. Tidak mungkin kami tidur di
kaki lima kedai itu. Jalan keluar itu pun datang jua. Dengan sisa wang pound itu kami
boleh meminjam telefon di sebuah kedai dua puluh empat jam. Saya Berjaya
menghubungi seorang teman yang boleh memberi pinjaman sebanyak 50 pound. Ia
bahkan menghantarkan kami dengan keretanya mencarikan lokandat (rumah
penginapan) ala kadarnya yang murah.
Saat kami berteduh dalam bilik sederhana, segeralah kami disedarkan kembali
bahawa kami berada di lembah kehidupan yang susah, kami harus mengharunginya
berdua dan tidak ada yang menolong kecuali cinta, kasih sayang dan perjuangan
keras kami berdua serta rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kami hidup dalam
lokandat itu beberapa hari, sampai teman kami berjaya menemukan rumah sewa
sederhana di daerah kumuh Syubra Kaimah.
Bagi kaum bangsawan, rumah sewa kami mungkin dipandang sepantasnya
adalah untuk kandang binatang kesayangan mereka. Bahkan rumah kesayangan
mereka mungkin lebih bagus dari rumah sewa kami. Namun bagi kami, ini adalah
hadiah dari langit. Apapun bentuk rumah itu,jika seorang gelandang tanpa rumah
menemukan tempat berteduh, ia bagaikan mendapat hadiah agung dari langit.
Kebetulan yang tuan punya rumah sedang memerlukan wang, sehingga dia
menerima aqad sewa tanpa wang jaminan dan wang perkhidmatan lainnya. Jadi
sewanya tak lebih dari 25 pound saja untuk tiga bulan. Betapa bahagianya kami saat
itu, segera kami pindah ke sana. Lalu kami membeli perkakas rumah untuk pertama
kalinya. Tidak lebih dari sebuah tilam kasar dari kapas, dua bantal, satu meja kayu
kecil, dua kerusi dan satu dapur gas sederhana sekali, kipas, dan dua cangkir dari
tanah, itu saja tak lebih.
Dalam hidup yang bersahaja dan belum boleh dikatakan layak itu, kami tetap
merasa bahagia, kerana kami selalu bersama. Adakah di dunia ini kebahagiaan
melebihi pertemuan dua orang yang diikat kuatnya cinta? Hidup bahagia adalah
hidup dengan ghairah cinta. Dan kenapakah orang-orang di dunia merindukan syurga
di akhirat. Kerana di syurga Allah menjanjikan cinta. Ah, saya jadi teringat perkataan
Ibnul Qayyim, bahawa ni’matnya persetubuhan cinta yang dirasa sepasang suami
isteri di dunia adalah untuk memberikan gambaran setitis rasa ni’mat yang disediakan
Allah di syurga. Jika percintaan suami isteri itu ni’mat, maka syurga jauh lebih ni’mat
dari itu semua. Ni’mat cinta di syurga tidak boleh dibayangkan. Yang paling ni’mat
adalah cinta yang diberikan Allah kepada penghuni syurga, saat Allah
memperlihatkan wajahNya. Dan tidak semua penghuni syurga berhak meni’mati
indahnya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk mencapai ni’mat cinta itu, Allah
menurunkan petunjuknya iaitu Al-Quran dan Sunnah. Yang konsisten mengikuti
petunjuk Allahlah yang berhak memperoleh segala cinta di syurga.
Melalui penghayatan cinta ini, kami menemukan jalan-jalan lurus mendekatkan
diri kepadaNya. Isteri saya jadi rajin membaca Al-Quran, lalu memakai tudung, dan
tiada putus solat malam. Di awal malam ia menjelma menjadi puteri raja yang cantik
mengghairahkan. Di akhir malam ia menjelma menjadi Rabiah Adawiyah yang larut
dalam samudera munajat kepada Tuhan. Pada waktu siang dia adalah doktor yang
penuh pengabdian dan belas kasihan. Ia memang wanita yang berkarakter dan
berperibadian kuat, ia bertekad untuk menempuh hidup berdua tanpa bantuan siapa
pun, kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia juga seorang wanita yang pandai
mengurus wang . Wang sebanyak 55 pound yang tersisa setelah membayar rumah
cukup untuk makan dan pengangkutan selama satu bulan. Tetangga-tetangga kami
yang sederhana sangat mencintai kami, dan kami juga mencintai mereka. Mereka
merasa kasihan melihat kemelaratan dan derita hidup kami, padahal kami berdua
adalah doktor. Sampai-sampai ada yang kata tanpa disengaja: “Ah, kami ingat para
doktor itu pasti semuanya kaya, ternyata ada juga ya yang melarat sengsara seperti
Mamduh dan isterinya.”
Akrabnya persahabatan kami dengan para tetangga banyak mengurangi
nestapa kami. Beberapa kali tetangga kami menawarkan bantuan-bantuan kecil
layaknya seperti saudara sendiri. Ada yang menawari isteri agar menumpangkan saja
cuciannya pada mesin cuci mereka. Kerana kami memang doktor yang sibuk.
Ada yang membelikan keperluan dapur. Ada yang membantu membersihkan
rumah. Saya sangat terkesan dengan pertolongan-pertolongan itu. Kehangatan
tetangga itu seolah pengganti kasarnya perlakuan yang kami terima dari keluarga
kami sendiri. Keluarga kami bahkan tidak terpanggil sama sekali untuk mencari dan
mengunjungi kami.
Yang lebih menyakitkan, mereka tidak membiarkan kami hidup tenang. Suatu
malam ketika kami sedang tidur nyenyak,tiba-tiba rumah kami diketuk dengan kasar
dan ditendang oleh empat penjahat kiriman ayah saya. Mereka merosakkan segala
perkakas yang ada. Meja kayu satu-satunya mereka patah-patahkan, begitu juga
kerusi. Katil tempat kami tidur satu-satunya mereka robek-robek. Mereka mengancam
dan memaki dengan kata-kata kasar. Lalu mereka keluar dengan ancaman: “Kalian
tidak akan hidup tenang, kerana berani menentang Tuan Pasha!” Yang mereka
maksudkan dengan “tuan pasha” adalah ayah saya yang saat itu pangkatnya naik
menjadi jeneral.
Keempat-empat banjingan itu pergi. Kami berdua berpelukan, menangis
bersama-sama berbagi nestapa dan membangun kekuatan. Lalu kami atur kembali
rumah yang hancur. Kami kumpulkan juga kapas-kapas yang berserakan, kami
masukkan dalam tilam dan kami jahit tilam yang koyak-rabak tidak karuan itu. Kami
susun semula buku-buku yang bersepah. Meja dan kerusi yang pecah itu berusaha
kami perbaiki. Lalu kami tidur kepenatan dengan tangan erat bergenggaman, seolaholah
eratnya genggaman inilah sumber rasa aman dan kebahagiaan yang
meringankan tekanan hidup ini. Benar, firasat saya mengatakan ayah tak akan
membiarkan kami hidup tenang. Saya mendapat berita dari seorang teman bahawa
ayah telah merancang scenario keji untuk memenjarakan isteri saya berdua dengan
tuduhan wanita pelacur. Semua orang juga tahu kuatnya pegawai perisik ketenteraan
di negeri ini. Mereka berhak melaksanakan apa saja dan undang-undang berada di
bawah telapak kaki mereka. Saya hanya boleh pasrah segalanya kepada Allah
mendengar hal itu.
Dan masya Allah! Ayah memang merancang rancangan itu dan tidak
mengurangkan niat jahatnya itu kecuali setelah seoarang teman karibku berjaya
memperdaya beliau dengan bersumpah akan berjaya memujuk saya agar
menceraikan isteri saya. Dan meminta ayah untuk bersabar dan tidak menjalankan
skenario itu, sebab kalau itu terjadi pasti pemberontakan saya akan menjadi lebih
keras dan akan berbuat lebih nekad. Tugas temanku itu adalah mengunjungi ayahku
setiap minggu sambil meminta beliau bersabar, sampai berjaya meyakinkan saya
untuk menceraikan isteriku. Inilah rancangan temanku itu untuk terus menghulur waktu,
sampai ayah turun marahnya dan melupakan rencana kejamnya. Sementara saya
dapat mempersiapkan segala sesuatu lebih matang.
Beberapa bulan setelah itu datanglah saatnya masa wajib militer (tentera).
Selama satu tahun penuh saya menjalani wajib militer. Inilah masa yang sangat saya
takutkan, tidak ada kemasukan sama sekali yang saya terima kecuali 6 pound setiap
bulan. Dan saya mesti berpisah dengan belahan jiwa yang sangat saya cintai. Nyaris
selama satu tahun saya tidak dapat tidur kerana memikirkan keselamatan isteri
tercinta. Tetapi Allah tidak melupakan kami, Dialah yang menjaga keselamatan
hamba-hambaNya yang beriman. Isteri saya hidup selamat bahkan dia mendapat
kesempatan bekerja sementara di sebuah klinik kesihatan dekat rumah kami. Jadi
selama satu tahun ini, dia hidup berkecukupan dengan rahmat Allah.
Selesai wajib militer, saya terus menumpahkan segenap rasa rindu pada kekasih
hati. Saat itu adalah musim bunga. Musim cinta dan keindahan. Malam itu saya tatap
matanya yang indah, wajahnya yang putih bersih. Ia tersenyum manis. Saya reguk
segala cintanya. Saya teringat puisi seorang penyair Palestin yang memimpikan hidup
bahagia dengan pendamping setia dan lepas dari belenggu derita.
Sambil menatap ke kaki langit
Kukatakan padanya
Di sana, di atas lautan pasir kita akan berbaring
Dan tidur nyenyak sampai Subuh tiba
Bukan kerana ketiadaan kata-kata
Tetapi kerana kupu-kupa kelelahan
Akan tidur di atas bibir kita
Besok, oh cintaku, besok
Kita akan bangun pagi sekali
Dengan para pelaut dan perahu layar mereka
Dan kita akan terbang bersama angin
Seperti burung-burung
***
Yah, saya pun memimpikan yang demikian. Ingin rasanya istirehat dari nestapa
dan derita. Namun dia ternyata punya pandangan lain. Dia malah berkeras untuk
masuk program Magister bersama. Gila! Idea gila! Fikirku saat itu. Bagaimana tidak. Ini
adalah saat yang paling tepat untuk pergi meninggalkan Mesir dan mencari
pekerjaan sebagai doktor di Negara teluk, demi menjauhi permusuhan keluarga yang
tak berperasaan. Tetapi isteri saya malah terfikir untuk meraih Magister. Saya pujuk dia
untuk menghentikan niatnya. Tapi dia tetap berkeras untuk meraih Magister dan
menjawab dengan logik yang tak kuasa saya tolak:
“Kita berdua paling berprestasi dalam angkatan dan mendapat tawaran dari
fakulti sehingga akan memperolehi keringanan dalam pembiayaan, kita harus
bersabar sebentar menahan derita untuk meraih keabadian cinta dalam
kebahagiaan. Kita sudah kepalang basah menderita, kenapa tidak sekalian kita reguk
sumsum penderitaan ini, kita sempurnakan prestasi akademik kita, dan kita wujudkan
mimpi indah kita.”
Ia begitu tegas. Matanya yang indah tidak membiaskan keraguan atau
ketakutan sama sekali. Berhadapan dengan tekad membaja isteriku,hatiku pun luruh.
Kupenuhi ajakannya dengan perasaan takjub akan kesabaran dan kekuatan jiwanya.
Jadilah kami berdua masuk program Magister. Dan mulailah kami memasuki hidup
baru yang lebih menderita. Kemasukan hanya cukup-cukup untuk hidup, sementara
keperluan kuliah luar biasa banyaknya, dana untuk praktikal, buku dan lain-lain. Nyaris
kami hidup seperti kaum sufi. Makan hanya dengan roti isy dan air. Hari-hari yang kami
lalui lebih berat dari hari-hari awal pernikahan kami. Malam-malam kami lalui bersama
dengan perut lapar, teman setia kami adalah air paip. Ya, air paip. Masih terakam
dalam memori saya, bagaimana kami belajar bersama pada suatu malam sampai
didera rasa lapar tak terkira, kami ubati dengan air. Yang terjadi, kami malah muntahmuntah.
Terpaksa wang untuk beli buku kami ambil untuk beli pengisi perut. Siang hari,
jangan tanya, kami terpaksa puasa. Dari keterpaksaan itu terjelmalah kebiasaan dan
keikhlasan.
Meski sedemikian melaratnya, kami merasa bahagia. Kami tidak pernah
menyesal atau mengeluh sedikit pun. Tidak pernah saya melihat isteri saya mengeluh,
menangis, sedih atau pun marah kerana suatu sebab. Kalaupun dia menangis itu
bukan menyesali nasibnya, tetapi dia lebih merasa kasihan pada saya. Dia kasihan
melihat keadaan saya yang asalnya terbiasa hidup mewah dengan selera high
class,tiba-tiba harus hidup sengsara seperti pengemis. Dan sebaliknya saya juga
merasa kasihan melihat keadaan dia, dia yang asalnya hidup selesa dan makmur
dengan keluarganya harus hidup menderita di rumah sewa yang buruk dan makan ala
kadarnya. Timbal balik perasaan ini ternyata menciptakan suasana mawaddah yang
luar biasa kuatnya dalam diri kami. Saya tidak mampu lagi melukiskan rasa sayang,
penghormatan dan cinta yang mendalam padanya.
Setiap kali saya mengangkat kepala dari buku, yang nampak di depan saya
adalah wajah isteri yang lagi serius belajar. Kutatap wajahnya dalam-dalam. Saya
kagum pada bidadari saya itu. Merasa diperhatikan, dia akan mengangkat
pandangannya dari buku, dan menatap saya penuh cinta dan senyumannya yang
khas. Jika sudah demikian, penderitaan ini terlupakan semua. Rasanya kamilah orang
paling berbahagia di dunia. “Allah menyertai orang-orang yang sabar, Sayang!”
bisiknya mesra sambil tersenyum. Lalu kami teruskan belajar dengan semangat
membara.
Allah Maha Penyayang. Usaha kami tidak sia-sia. Kami berdua meraih gelaran
Master dengan waktu tercepat di Mesir. Hanya dua tahun saja. Namun kami belum
keluar dari derita. Setelah meraih Master pun kami masih mengecap hidup susah, tidur
di atas tilam nipis dan tidak ada istilah makan enak dalam hidup kami. Sampai
akhirnya, rahmat Allah datang jua. Setelah usaha keras, kami berjaya
menandatangani kontrak kerja di sebuah rumah sakit di Kuwait. Dan untuk pertama
kalinya setelah lima tahun berselimut derita dan duka, kami mengenal hidup layak dan
tenang. Kami hidup di rumah yang mewah. Kami rasakan kembali tidur di atas tilam
empuk. Kami kenal kembali makanan lazat setelah kami tinggal sekian tahun. Dua
tahun setelah itu kami pun dapat membeli villa bertingkat dua di Heliopolis, Cairo.
Sebenarnya saya rindu untuk kembali ke Mesir setelah memiliki rumah yang sesuai.
Tetapi isteriku memang “gila”. Ia kembali mengeluarkan idea gila, iaitu idea untuk
melanjutkan program doktor spesialis di London, juga dengan alasan logik yang susah
saya tolak:
“Kita doktor yang berprestasi. Hari-hari penuh derita telah kita lalui dan kita kini
memiliki wang yang cukup untuk mengambil doktor di London. Setelah bertahun-tahun
kita hidup di lorong buruk dan kotor, tak ada salahnya kita raih sekalian tahap
akademik tertinggi sambil merasakan hidup di negara maju. Apalagi pihak rumah sakit
telah menyediakan dana tambahan.”
Ku cium kening isteriku, bismillah kita ke London. Singkatnya, dengan rahmat
Allah, kami berdua berjaya meraih gelaran doktor dari London. Saya spesialis saraf dan
isteri saya spesialis jantung. Setelah memperoleh gelaran doktor spesialis, kami
menandatangani kontrak kerja baru di Kuwait dengan gaji luar biasa besarnya.
Bahkan saya diangkat sebagai doktor ahli sekaligus direktor rumah sakitnya dan isteri
saya sebagai wakilnya. Kami juga mengajar di Universiti. Kami pun dikurniai seorang
puteri yang cantik dan cerdas. Saya namakan dia dengan nama isteri terkasih,
belahan jiwa yang menemaniku dalam suka dan duka, yang tiada henti
mengilhamkan kebajikan-kebajikan.
Lima tahun setelah itu kami kembali ke Cairo setelah sebelumnya menunaikan
ibadah haji di Tanah Haram. Kami kembali laksana seorang raja dan permaisurinya
yang pulang dari lawatan keliling dunia. Kini kami hidup bahagia, penuh cinta dan
kedamaian setelah lebih dari sembilan tahun hidup menderita, melarat dan sengsara.
Mengenang masa lalu, maka bertambahlah rasa syukur kami pada Allah Subhanahu
wa Ta’ala dan bertambahlah rasa cinta kami. Ini cerita nyata yang ingin saya
sampaikan sebagai nasihat hidup.
Jika hadirin sekalian ingin tahu isteri solehah yang saya cintai dan mencurahkan
cintanya dengan tulus tanpa pernah surut sejak pertemuan pertama sampai saat ini, di
kala suka dan duka, maka lihatlah wanita berjilbab biru muda yang menunduk di
barisan depan kaum ibu, tepat samping kiri artis berjilbab Huda Sulthan, dialah isteri
saya tercinta yang mengajrkan bahawa penderitaan boleh mengekalkan cinta, dialah
Prof. Shiddiqa binti Abdul Aziz!”
Tepuk tangan bergemuruh mengiri gegak kamera video menyuting sosok
perempuan separuh baya yang nampak anggun dengan jilbab biru tuanya.
Perempuan itu sedang mengusap cucuran airmatanya. Kamera itu juga merakam
mata Huda Sulthan yang berkaca-kaca, lelehan air mata haru kedua mempelai dan
segenap hadirin yang menghayati cerita itu dengan saksama.
***************
*Ketika Derita Mengabadikan Cinta merupakan satu daripada 38 cerpen
daripada Buku Di Atas Sajadah Cinta.
Adakah jiwa anda sudah terbangun? Jangan berlengah lagi, biar kawan anda
juga turut merasainya.
Atau lebih baik lagi jika anda beli sendiri untuk mengikuti kisah-kisah teladan
yang lain.Ia boleh didapati di kedai-kedai
dengan harga RM 15.90 sahaja.
Semoga apa yang baik itu dapat kita sebarkan demi agama yang tercinta,
insya Allah.